Mahasiswa, sebuah kata yang mimiliki makna yang
sangat dalam. Jika diartikan secara harfiah maka bisa disebut siswa yang paling
tinggi. Mahasiswa, jika mendengar kata ini maka seringkali yang terbersik di
benak kita adalah kalangan pemuda/pemudi yang tangguh dan gigih dalam berjuang
menuntut ilmu, menggapai cita, dan terus berkarya untuk bangsa. Kata Maha itu
sendiri hanya diberikan kepada 2 golongan, yaitu Tuhan (Allah) dan Siswa.
Mahasiswa itu ibarat permata yang masih terjaga keasliannya, jika terus dijaga
dan dikembangkan maka kelak akan memberikan dampak yang sangat luar biasa bagi
kemajuan suatu bangsa. Sehingga tak jarang ada yang mengatakan “Bangsa yang
berhasil adalah bangsa yang generasi mudanya mampu berkontribusi dengan baik
bagi kemajuan bangsa kedepannya, dalam hal ini mahasiswa”.
Di tingkat mahasiswa inilah seorang pemuda mampu
berfikir dan bertindak secara signifikan. Mahasiswa juga bisa dianalogikan
sebuah bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak jika tidak diarahkan dengan
baik. Jika kita kembali menelusuri masa lalu, maka peran mahasiswa dalam
merebut kemerdekaan bangsa Indonesia sangatlah besar. Mulai dari ide-ide
kreatif yang dicetuskan, sampai kepada gerakan-gerakan baik skala kecil maupun
skala nasional. Sebuah kalimat yang pantas untuk menjadi kebanggaan mahasiswa
pernah diungkapkan oleh Bapak Proklamator Indonesia, yaitu Ir. Soekarno :
“Berikan aku 1000 orang tua maka akan kucabut Mahameru sampai ke akar-akarnya,
dan berikan aku 10 orang Pemuda maka akan kuguncangkan dunia”. Kebiasaan inilah yang harus terus dipupuk jika ingin
terus mempertahankan hakekat mahasiswa yang sebenarnya. HIDUP MAHASISWA, MAJU
MAHASISWA, MAJU BANGSA INDONESIA!
1.
Kebiasaan
Baik dan Buruk dari Mahasiswa
1.1
Kebiasaan
Buruk di Kalangan Mahasiswa
Mahasiswa
bukanlah seorang malaikat, yang diciptakan dengan kesempurnaan sehingga tak
akan luput dari kesalahan. Dibalik nama besar seorang Mahasiswa juga terdapat
banyak adat dan kebiasaan buruk yang saat ini cukup membuat kita menjadi miris.
a. Budaya
Tawuran dan Perkelahian
Belakangan ini
kalangan mahasiswa sering disoroti dan menjadi salah satu bahasan penting di
media massa. Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah budaya kekerasan dan
tawuran antar mahasiswa yang mulai kembali marak terjadi di beberapa daerah.
Alhasil kembali yang disoroti tidak hanya kalangan mahasiswa itu sendiri, tapi
juga jajaran petinggi Kampus dan Kementrian Pendidikan. Belakangan diketahui
beberapa penyebab dari tawuran dan kekerasan ini adalah permasalahan sepele
yang kemudian dibesar-besarkan. Sikap fanatisme kedaerahan, solidaritas kepada
teman, dan faktor lingkungan juga tak luput dari penyebab dari masalah ini.
Tawuran pelajar
sekolah menjadi potret buram dalam dunia pendidikan Indonesia. Pada 2010,
setidaknya terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar. Angka itu melonjak tajam
lebih dari 100% pada 2011, yakni 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar.
Pada Januari-Juni 2012, telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar.
(Sumber: TV One)
b. Budaya
dan Kebiasaan Mencontek
Teringat sebuah
kalimat “Ala bisa karena biasa”, mungkin inilah yang saat ini bisa dijadikan
sebagai patokan dari kebiasaan buruk mencontek mahasiswa. Entah karena memang
sudah menjadi perbuatan yang wajib atau memang sebuah kebutuhan, budaya
mencontek saat ini begitu lekat dengan dunia pendidikan. Berdasarkan hasil
penelitian tahun 2006 sebanyak 81,3 % mahasiswa pernah mencontek. Faktor
penyebab seorang mahasiswa mencontek adalah karena persaingan yang ketat antar
mahasiswa untuk meraih prestasi. Persaingan yang tinggi inilah yang kemudian
menimbulkan kecemasan dalam diri seorang mahasiswa sehingga timbullah budaya
mencontek sebagai solusinya.
Hasil penelitian
selanjutnya (Mubarok 2009) menunjukkan faktor penyebab mencontek yang paling
dominan adalah menunda-nunda dalam mengerjakan tugas, mudah menyerah, kurang
percaya diri, dan tidak dapat mengatur waktu dengan baik, sehingga menganggap
perbuatan mencontek adalah sesuatu yang wajar dilakukan.
Budaya mencontek
jika tidak dihentikan sejak dini, maka kelak juga akan berpengaruh pada seorang
mahasiswa manakala telah memasuki jenjang selanjutnya (pekerjaan). Dimana
budaya mencontek inilah yang kelak menjadi dasar bagi seseorang untuk tidak
berprilaku jujur sehingga kelak akan menimbulkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme).
c. Budaya
Titip Absen (TA)
Disadari ataupun
tidak, terkadang kita sebagai mahasiswa menganggap suatu pertemuan tatap muka
di kelas itu tidak terlalu penting. Tak jarang ada pula sebagian mahasiswa yang
menganggap bahwa ilmu yang didapatkan di luar itu tidak sebanding dengan di
dalam kelas, ataupun sebaliknya. Namun di beberapa kampus yang telah menerapkan
aturan ketat di segi kehadiran menyebabkan mahasiswa harus memenuhi target
absensi yang telah ditentukan.
Walau begitu, berdasarkan survey yang dilakukan tim Studenta
Jurnal Bogor kepada 100 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bogor dan
sekitarnya, 80 mahasiswa justru mengaku pernah melakukan titip absen saat
kuliah maupun praktikum berlangsung.
Dari 80 mahasiswa tersebut, 76,25 persen di antaranya melakukan titip absen sebanyak satu sampai lima kali dalam satu semester, 11,25 persen lainnya enam hingga sepuluh kali, dan sisanya lebih dari 10 kali.
Dari 80 mahasiswa tersebut, 76,25 persen di antaranya melakukan titip absen sebanyak satu sampai lima kali dalam satu semester, 11,25 persen lainnya enam hingga sepuluh kali, dan sisanya lebih dari 10 kali.
Beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab budaya ini
yaitu: kemalasan untuk ikut kuliah, sibuk dengan kegiatan lain, sering
terlambat masuk ke kelas, sampai kepada bosan & tidak mengerti ketika di
kelas.
d. Moralitas dan Akhlak Keseharian
Mahasiswa merupakan simbol majunya kualitas pendidikan di
suatu bangsa. Namun kemajuan suatu bangsa tidak hanya dilihat dari segi
intelektualnya saja, melainkan juga dari sifat dan akhlak pelakunya, dalam hal
ini mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa. Dewasa ini banyak yang
menganggap sifat dan akhlak mahasiswa tidak lagi mencerminkan bahwa mereka
adalah kaum intelek. Itu bisa dibuktikan dari banyaknya kebiasaan dari akhlak
mahasiswa saat ini yang acuh dan seakan tidak mau peduli dengan masyarakat dan
lingkungan sekitarnya.
Dalam tataran nasional, kegagalan hasil pendidikan di
Indonesia bisa terlihat dari tingginya indeks prestasi korupsi (IPK) yang
dikeluarkan oleh ICW dan rendahnya etos kerja di kalangan masyarakat pekerja.
Menurut data-data dari ICW, sumber kegagalan negara dalam menyelesaikan
berbagai persoalan yang ada adalah bermula dari bobroknya akhlak dan moral para
pemegang kebijakan yang menyebabkan suburnya praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme yang menyentuh seluruh sektor pembangunan. Para SDM yang dihasilkan
dari produk pendidikan yang ada, tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dari
tahun ke tahun. Justru kebanyakan hasil outcome pendidikan ini
memperlihatkan sikap-sikap materialisme dan hedonisme yang mempengaruhi tingkah
laku dan kebijakan-kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan mereka. Maka
tidak aneh jika ICW mengeluarkan data yang diambil dari Transparasi
Internasional Indonesia (TII) tentang IPK Indonesia yang dari tahun ke tahun
cenderung meningkat dan rendahnya indeks.
e. Kebiasaan Seks Bebas dan Narkoba
Mahasiswa, tidak dapat dipungkiri adalah masa-masa yang bagi
sebagian kalangan adalah masa yang sangat baik untuk kemudian mempersiapkan
diri ke jenjang yang lebih baik. Tidak terkecuali dalam hal mencari pasangan
hidup. Tak jarang seorang mahasiswa ada yang berpendapat bahwa masa mudanya
harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk bersenang-senang. Maka tidak sedikit
dari mahasiswa yang memanfaatkan masa kuliahnya hanya pada orientasi kesenangan
sementara. Tuntutan tugas dan amanah yang berlebihan juga terkadang menjadi
penyebab seorang mahasiswa menggunakan jalan pintas yang salah untuk
menenangkan dirinya.
Berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak bekerja
sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 diperoleh
pengakuan remaja bahwa sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman,
petting, dan oral seks; Sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan;
Sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi; Dari 2 juta wanita
Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah pelajar remaja perempuan.
Yang terbaru adalah dari hasil survey BKKBN 2010 yang mengatakan bahwa 51%
pelajar di Indonesia telah melakukan hubungan pra-nikah. Beberapa wilayah lain
di Indonesia, seks pranikah juga dilakukan beberapa remaja. Misalnya saja di Surabaya
tercatat 54 persen, Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan.
Faktor lain yang juga terkadang menjadi penyebabnya adalah
dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan bergaul.
f. Kurangnya Minat Baca di Kalangan
Mahasiswa
Berdasarkan data
Bank Dunia tahun 1998 menginformasikan pula kebiasaan membaca anak-anak
Indonesia berada pada level paling rendah (nilai 51,7).
Nilai tersebut di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Singapura (74,0).
Tahun 1998-2001 hasil suvei IAEEA dari 35 negara, menginformasikan kemampuan
baca siswa Indonesia berada pada urutan yang terakhir.
Data dari BPS pada tahun 2006, masyarakat lebih
memilih menonton televisi (85,9%) dan mendengarkan radio (40,3%) daripada
membaca (23,5%). Artinya, membaca untuk mendapatkan informasi baru dilakukan
oleh 23,5% dari total penduduk Indonesia. Masyarakat lebih suka mendapatkan
informasi dari televisi dan radio ketimbang membaca. Dengan data ini terbukti
bahwa membaca belum menjadi kebutuhan bagi masyarakat.
Inilah yang terkadang menyebabkan kenapa lulusan
Sarjana dari bangsa kita masih begitu banyak kekurangan. Disaat mahasiswa di
Negara lain telah menjadikan membaca sebagai salah satu dari kebutuhan primer
mereka, justru di kalangan mahasiswa kita masih banyak yang menganggap membaca
itu hanyalah suatu pekerjaan yang membosankan dan biasanya hanya dilakukan
ketika mendekati proses ujian.
1.2
Kebiasaan Baik di Kalangan Mahasiswa
Jika dianalogikan, mahasiswa itu ibarat jagung yang sedang
tumbuh di suatu kebun. Yang mana selama masa tumbuh harus dirawat dan dijaga
sebaik mungkin untuk menghindarkan dari berbagai gangguan. Mahasiswa juga
seperti ini, dibalik kekurangan dari mahasiswa juga menyimpan banyak kebiasaan
baik yang jika dijaga dan dikembangkan maka akan menjadi suatu senjata untuk
merubah suatu bangsa kearah yang lebih baik. Kita ambil beberapa contoh
kebiasaan baik yang harus terus dipupuk oleh mahasiswa secara umumnya.
a. Memiliki Semangat Juang dan Tenaga
Yang Tinggi
Bukan mahasiswa namanya jika tidak memiliki semangat dan
daya juang yang tinggi. Kebiasaan inilah yang tidak dimiliki oleh generasi
lain. Dengan kebiasaan inilah mahasiswa dituntut untuk lebih gigih dalam
mengaplikasikan ilmu yang telah diterimanya. Jika kita memaknai kalimat Bung
Karno mengenai pemuda, maka bisa jadi yang dijadikan salah satu alasan dari
kalimat itu adalah kebiasaan ini. Seorang mahasiswa terkadang dihadapkan pada
berbagai masalah yang dihadapi, baik di lingkungan kampus maupun masyarakat.
Semangat juang inilah yang kemudian bisa membalikkan segala kemustahilan dari
segala permasalahan yang terkadang dihadapi.
Selain itu, pada masa mahasiswa adalah puncak dimana kekuatan
dan tenaga seorang manusia itu seimbang. Dengan semangat juang dan tenaga yang
tinggi ini pula, kedepannya setiap mahasiswa dapat mengembangkan dirinya untuk
terus melakukan hal-hal yang sangat luar biasa baik bagi dirinya dan terlebih
lagi bagi orang lain.
Jika kita kembali melihat ke masa orde baru, dimana bangsa
ini benar-benar sedang berada dalam masa keterpurukan, maka akan langsung
terlintas di benak kita akan semangat juang dan tenaga yang tinggi dimana
mahasiswa menggalang kekompakan dengan masyarakat untuk sama-sama mengatasi
konflik yang memang sudah seharusnya segera diselesaikan.
b. Mampu Berfikir dan Bertindak Secara
Nyata
Saat ini bangsa Indonesia mengalami banyak masalah yang tak
kunjung ditemukan jalan keluarnya. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang
terbelakang, bukan pula bangsa yang miskin. Akan tetapi masalah yang saat ini
dihadapi bangsa ini adalah kurangnya pemimpin dan masyarakat yang mau berfikir
dan bertindak secara nyata untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan
bangsa yang timbul. Disinilah peran nyata dari mahasiswa, tidak hanya dituntut
mampu berfikir secara kritis dan realistis tapi juga dibutuhkan aksi yang nyata
untuk terus membenahi bangsa yang besar ini.
Mahasiswa baik secara langsung maupun tidak langsung telah
dituntut untuk terus memberikan sumbangsih yang nyata kepada masyarakat. Di era
saat ini, dimana media informasi begitu cepatnya beredar, terkadang mahasiswa
hanya diberitakan ketika telah melakukan aksi turun ke jalan. Seolah-olah
mahasiswa hanya bisa aksi dan aksi tanpa ada perundingan terlebih dahulu.
Tapi tahukah kita, sebenarnya dibalik pemberitaan itu,
mahasiswa secara sistematis telah mengadakan perundingan terlebih dahulu kepada
pihak yang terkait mengenai masalah-masalah yang sering dihadapi.
Tindakan nyata dari mahasiswa tidak hanya bisa dilihat
ketika adanya aksi, tapi juga dari hasil-hasil pemikiran mahasiswa yang
kemudian banyak dijadikan sebagai referensi dalam pengambilan keputusan, baik
yang berskala lokal maupun nasional. Belakangan ini juga kontribusi mahasiswa
tidak cukup sampai pada aksi semata, tapi juga gerakan-gerakan untuk kembali
membangun bangsa begitu giat dilakukan oleh hamper seluruh mahasiswa.
Tak tangung-tanggung, ada yang sampai rela mengorbankan
studinya untuk berjalan ke pelosok-pelosok negeri untuk kemudian mendidik
masyarakat awam sebagai bukti nyata bahwa mahasiswa Indonesia itu selaras dalam
berfikir dan bertindak secara nyata.
c. Bergerak sebagai Agent of Change
Mahasiswa sebagai Agent of Change, slogan ini memang begitu
melekat di kalangan mahasiswa. Entah apa yang mendasari sehingga slogan ini
begitu akrab bagi mahasiswa. Tapi memang pada kenyataannya, tidak dapat
dipungkuri bahwa salah satu tugas utama dari mahasiswa yaitu berbuat yang
terbaik bagi bangsa dan negara sebagai agen perubahan.
Seringkali terbesik di fikiran kita mengapa harus mahasiswa
yang bergerak sebagai agen perubahan? Alasannya tidak lain karena memang
melalui potensi yang dimiliki oleh mahasiswa, maka pantaslah mahasiswa itu
dianggap sebagai agen perubahan.
Sebagai bagian dari pemuda, mahasiswa juga memiliki karakter positif
lainnya, antara lain idealis dan energik. Idealis berarti (seharusnya)
mahasiswa masih belum terkotori oleh kepentingan pribadi, juga belum terbebani
oleh beban sejarah atau beban posisi. Artinya mahasiswa masih bebas menempatkan
diri pada posisi yang dia anggap terbaik, tanpa adanya resistansi yang terlalu
besar.
Kesadaran bahwa mahasiswa 'harus' menjadi agen perubahan merupakan
langkah awal yang kemudian harus dibarengi dengan pemahaman bagaimana cara
melakukan perubahan atau ke arah mana perubahan itu kita arahkan.
Beberapa alasan mengapa mahasiswa harus benar-benar menjadi agen
perubahan, yaitu:
1. Kondisi masyarakat saat ini yang telah jauh
menyimpang dari norma dan aturan yang seharusnya berlaku di masyarakat. Salah
satu contohnya yaitu budaya korupsi dan pergaulan bebas yang saat ini begitu meresahkan
masyarakat.
2. Perubahan adalah suatu keniscayaan, atau
sunnatullah. Artinya suka atau tidak, kita akan menemui perubahan. Kalaupun
kita diam, maka ada banyak pemikiran lain (komunis, liberal, dll) yang mencoba
mengubah masyarakat sesuai dengan kehendak mereka. Oleh karena itu, diamnya
kita berarti membiarkan 'kekalahan' ideologi yang kita yakini kebenarannya dan
membiarkan terjadinya perubahan ke arah yang tidak kita kehendaki.
2.
Solusi
Untuk Mengatasi Kebiasaan Buruk Mahasiswa
Berbagai
permasalahan yang timbul yang dikarenakan kebiasaan buruk mahasiswa, tidaklah
serta-merta dapat dijadikan sebagai tolak ukur bahwa mahasiswa saat ini telah
menurun kemampuannya. Berbagai kebiasaan yang buruk terkadang timbul dari
masing-masing individu maupun kelompok yang ada di lingkungan mahasiswa.
Beberapa solusi
yang bisa diberikan untuk mengatasi kebiasaan buruk pada mahasiswa yaitu:
a. Menanamkan
sejak dini pentingya pengetahuan akan Agama dan Norma-norma yang berlaku di
masyarakat.
Dengan budaya
seperti ini, maka secara tidak langsung akan mengurangi bentuk kebiasaan buruk
di kalangan mahasiswa.
Dalam Undang-undang No. 10 tahun
1922 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera
disebutkan bahwa agama berperan penting dalam mewujudkan keluarga sejahtera.
Lebih
dari 90 persen kaum muda Muslim Indonesia mengatakan bahwa percaya kepada Tuhan
adalah penting, dan lebih dari 60 persen mengatakan bahwa menjadi seorang
Muslim yang baik adalah penting.
b. Memaksimalkan
Peran Serta Keluarga
Tak
dapat dipungkiri, keluarga adalah lingkungan pertama seseorang untuk mengenyam
pendidikan. Di lingkungan keluarga pula lah diajarkan bagaimana cara bergaul
dan berinteraksi yang baik. Oleh karena itu, peranan keluarga untuk mencegah kebiasaan
buruk mahasiswa sangatlah penting. Berdasarkan survey LSI 95,5% responden
mengatakan bahwa hubungan mereka dengan orangtua mereka sangat baik. 92,1%
menyatakan ‘tidak benar’ terhadap pernyataan “orang tua saya tidak peduli”.
Bahkan, 78,1% responden menyatakan adalah tindakan yang salah bila seorang anak
tidak meminta nasihat orang tua. Sedangkan 96,5% menyatakan bahwa orang tua
mereka sering memberi nasihat. Bahkan 78,1% responden menyatakan adalah
tindakan yang salah bila seorang anak tidak meminta nasihat orang tua.
c. Manajemen
Diri dan Kelompok
Terkait beberapa
kebiasaan buruk mahasiswa dalam pergaulan sehari-sehari, sudah sepatutnya
diajarkan bagaimana cara untuk mengatur diri dan kelompok dalam aktivitas
sehari-hari.. Karena secara tidak langsung, jika cara ini diterapkan dengan
baik maka akan berdampak positif bagi kinerja nyata mahasiswa sebagai agen of
change.
d. Memaksimalkan
Kegiatan yang Bernilai Positif
Melalui kegiatan
seperti ini, maka secara tidak langsung akan membentuk sikap empati mahasiswa.
Terlebih lagi banyak dari kalangan mahasiswa sendiri yang terkadang bingung
untuk mengisi kekosongan waktunya. Dengan adanya kegiatan positif maka
aktivitas mahasiswa yang tadinya hanya berorientasi pada kesenangan semata,
akan lebih bermakna dengan adanya kegiatan yang bersifat membangun seperti ini.
3.
Kesimpulan
Mahasiswa
sebagai Agent of Change saat ini dihadapkan pada berbagai persoalan. Tidak
hanya mengenai masalah bangsa dan negara, tapi juga masalah untuk terus
berbenah dari kebiasaan buruk yang saat ini sedang marak terjadi. Mahasiswa
yang baik bukanlah yang tidak mempunyai kebiasaan buruk, melainkan dia mengubah
kebiasaan buruk itu menjadi kebiasaan yang lebih baik.
Beberapa faktor
penting dimana masalah kebiasaan buruk sering timbul pada mahasiswa, yaitu
kurangnya pemahaman sejak dini mengenai agama, norma dan aturan yang berlaku
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu faktor keluarga dan lingkungan juga
mempengaruhi kebiasaan seorang mahasiswa. Kebiasaan yang baik juga akan
memberikan hasil yang baik, begitu pula sebaliknya.
Oleh karena itu
sudah sepatutnya ditanamkan sejak dini pemahaman akan pentingnya agama, norma,
keluarga, dan lingkungan agar seorang mahasiswa mampu terbiasa untuk bekerja
dan berbuat yang terbaik bagi agama, bangsa dan Negara.
“Mahasiswa
itu ibarat sebuah jagung, jagung ini kemudian ditutup dengan tanah untuk
menghindarkannya dari gangguan burung. Begitu juga dengan mahasiswa harus
dihiasi dengan iman agar terhindar dari kebiasaan buruk. Jagung yang ditutupi
tanah itu kelak akan tumbuh. Dan ketika sudah tumbuh maka harus disiram dengan
air. Pada mahasiswa air ini diibaratkan sebagai ilmu, karena tabiat air dan
ilmu itu sama yaitu mendekati tempat yang rendah. Ilmu ini akan datang pada mahasiswa
yang rendah hati. Selain disiram, jagung tadi juga perlu dipupuk, dan sifat
dari pupuk itu bau. Begitu juga ketika mahasiswa telah sukses maka kelak akan
banyak orang yang mencelanya, tapi ketahuilah kelak itu yang akan memajukan
Mahasiswa Indonesia, itulah peran Mahasiswa yang sesungguhnya.”
Hidup
Mahasiswa
Maju
Mahasiswa
Majulah
Bangsa Indonesia